
Love to read, love to write. Tulisan non fiksi terbarunya masuk dalam buku Long Distance Love(2009). Beberapa puisinya dimuat dalam Buku Antologi Musibah Gempa Padang(2009), Antologi Seratus Puisi Jogja 5.9 Skala Richter(2006), Antologi Puisi Bungamatahari(2005), Antologi Puisi Cyberpunk Les Cyberlettres(2005), Dian Sastro For President: End of Trilogy(2005), Antologi puisi Maha Duka Aceh(2005), Antologi puisi temu sastra jakarta 2003 Bisikan Kata, Teriakan Kota(2003), Antologi Puisi Digital Cyberpuitika(2002)dan Antologi Puisi Cyber Graffiti Gratitude(2001). Salah satu cerpennya dimuat dalam Laminsastra Balikpapan(2003), Batu Merayu Rembulan(2003) dan kumpulan cerpen pendek Graffiti Imaji& (2002).
DANGAU TAK PERNAH SEPI
bukankah pernah kuceritakan tentang dangau tak pernah sepi
bulir-bulir padi temani tiap sisi
burung-burung pagi setia bernyanyi
dulu, ketika ladang masih hijau baru dan ilalang
belum tinggi selewat bahu
suatu hari bandang mampir tanpa permisi
semenjak itu ia rela terpisah dari tiang bambunya,
dari atap jeraminya,
dari teman-teman musim panennya
tanpa kesedihan
pun kepedihan
sebab bagi dangau sederhana itu tak ada yang lebih membahagiakan
selain melepas bagian paling berarti hidupnya
mencari dan menemukan
kebahagiaannya
sendiri
12 november 2003
SELENGKUNG SABIT
satu petang selengkung sabit bercerita tentang kota sangat jauh yang tak pernah tidur
warganya menghambur hingga sudut-sudut
biasanya sang sabit tak kenal sepi
sebab selalu ada mimpi yang minta disinggahi
lengkungnya bertambah cerah dan lebar sampai pagi
tapi kali itu di atas trotoar sang sabit termenung
di balik bayang gedung menjulang dan rimbun pepohon dilihatnya
seorang ibu resah
tak mampu hangatkan tubuh gigil anaknya yang kurus menahan lapar
inilah kali pertama lengkung sabit itu demikian sedih dan putus asa
merasa tak sanggup berbuat apa-apa
hingga membiarkan dirinya berangsur-angsur pucat dan tenggelam
di telan awan
dan redup angkasa
25 februari 2004
SENYUM IBUKU
senyum ibuku istimewa
kujumpa di mana-mana
tak cuma hari ini tapi setiap hari
lintas waktu lintas jarak
senyum ibuku selalu banyak
senyum ibuku setia
saat kecilku, ia rajin menunggu pulang sekolah di teras rumah
saat belajarku, ia tak lelah menyembur semangat pantang menyerah
saat salahku, ia sigap luruskan dan contohkan yang benar
saat besarku, ia pinjami kearifan dan rela jadi pagar
saat menikahku, ia bekali cinta dan kekuatan sabar
saat lepasku, ia hangati setiap kepak sayapku yang gemetar
kini setelah jauh
senyum ibuku tetap ada kapan saja
muncul di saat tepat
senyum ibuku selalu dekat
seperti setiap hari ketika di rumahku jadwal terpagi adalah dapur
dalam kantuk merencana sarapan
kutemu senyum ibuku di dalam kulkas
“selamat pagi, cinta! masak apa hari ini?”
menggeliat segar sekali!
di sebelahnya laukpauk, bumbu beku dan sayurmayur bahkan masih nyenyak tidur
seperti ketika jadwal berikut adalah tangkai sapu, kain lap dan segerombol alat tempur
berkali-kali menggeser meja, bangku, belepotan seluruh hambur
kuintip senyum ibuku di balik dinding
“selamat siang, cinta! bersenang-senang hari ini?”
ceria sekali!
anak-anakku tertawa bersamanya sambil menyanyi dan tahu-tahu aku ingin ikut menari
seperti ketika piring kotor, gelas dan panci tak pernah sepi di bawah keran
buru-buru menuang sabun, bolakbalik ke mesin cuci dan mengangkut baju dari jemuran
kulihat senyum ibuku di kusen jendela
“selamat sore, cinta! sudah minum kopi atau teh hari ini?”
ah ya, kenapa tidak?
kuambil jeda, menyesap wangi melati hingga hati lega, dan sesudahnya punya energi lagi!
seperti ketika bulan mampir, malam menua dan kutahu tak ada yang betul-betul selesai
ketika di kepala berloncatan rencana besok dan segudang hal yang masih tertunda
kujumpa senyum ibu saat bercermin, melengkung lebar di bayang lelah kelopak mataku
“selamat malam, cinta! sudah senyum hari ini?”
ow, hampir lupa!
kusudahi gelisah, sandarkan punggung sambil baca buku, memandang orang-orang tercinta yang lelap mendengkur, duhai, adakah yang lebih nikmat dari bersyukur? ya ibunda, aku bahagia!
senyum ibuku bunga
di hari-hari mudah ia mekar
di hari-hari sukar ia lebih mekar
senyum ibuku cahaya
di saat terang ia nyala
di saat gelap ia lebih nyala
senyum ibuku di mana-mana
terselip bukan cuma hari ini tapi setiap hari
lintas waktu lintas jarak
senyum ibuku selalu berserak
seperti ketika kangen selalu kutelpon ibu
“halo bunda, sedang apa disitu?”
“halo cinta, menjahit baju buat cucu!”
kutangkap menggelembung di gagang telpon
senyum ibuku membubung
senyum ibuku di mana-mana
beterbangan bukan cuma hari ini tapi setiap hari
lintas laut lintas mega
senyum ibuku perkasa
setiap hari menjumpa dan mengumpulkannya di hati
kurawat, kusimpan, kupelajari senyum itu baik-baik
kupinjam jiwanya, kuabadi kilaunya
kuharap suatu masa mampu wariskan hal yang sama
kepada anak-anakku kelak, ibunda
meski tak mungkin persis sama
kutahu tak mungkin sebanding sempurna
‘selamat hari ibu, mom! we love you!’ ;-)
POHON TEPI KALI DAN BULAN
sebatang pohon di tepi kali
tiap hari melihat banyak yang pergi
ada daun, buah dan ranting
juga plastik, logam dan beling
ada lauk, sayur dan nasi
juga bensin, minyak dan oli
pernah ada ibu pontang-panting menyusur batu
kainnya hanyut ketika sedang mencuci baju
lalu ada pemuda berlari-lari menahan malu
celananya nyangkut saat berhajat dekat pagar kayu
pagi itu seorang tuan menyumpah-nyumpah sambil cemberut
dompetnya jatuh tanpa sengaja di arus berebut
malamnya sekelompok orang menekuni pasang surut
konon ada yang nyemplung mencari maut karena kalut dan rasa takut
di antara semua yang lewat dan pergi
pohon itu tahu ada satu yang selalu kembali
yang ia cinta dan tunggu setiap hari
yang tak pernah dijemput angin ke negeri seberang
tak pernah diapung air ke muara lengang
tak pernah hilang tak mungkin lekang
ia sebentuk terang
warna mentega malu-malu yang kerap ganti baju
pohon itu sudah mengenalnya sejak lahir
dan jatuh cinta sejak batang juga rantingnya menjulur-julur kian condong ke bibir kali
ah bulan tahukah betapa ia rindu?
tahukah betapa tak alpa dihitungnya waktu selalu agar tak keliru?
ada malam-malam di mana pohon itu tak pernah tidur
malam ketika sebusur cantik menjadi senyum paling harum dan ranum di atas kali
juga malam ketika mata sempurna menatapnya begitu hangat begitu lekat begitu dekat
tapi itu dulu
ketika air tenang masih setia mengalir hingga tak pernah ada yang mampir
beberapa tahun terakhir pohon tepi kali merasa getir
makin padat saja benda sedunia parkir di tengah dan pinggir
wajah kali jadi tak cerah lagi
rautnya pekat, hitam, menggelambir
baunya busuk, menusuk dan anyir
lalu bulan ke mana bulan o di mana?
bayangnya hilang tanpa permisi entah mengapa
sebatang pohon di tepi kali jadi merana
meski kini tak sepi sebab berbondong-bondong sampah berebut sisi
di malam-malam sunyi sering ia diam-diam ingin mati
ingin tidur sejati
biar sekarang ia yang pergi
membawa mimpi bayang kekasih yang tak lagi punya tempat di wajah kali
SEBAGAI KALUNG KACA TERSANGKUT DI SARANG LABA-LABA SEHABIS GERIMIS
:buruli (pulung amoria kencana)
kenangan yang pernah kita punya begitu manis
dipertemukan musim yang tak selalu sama
dilukis alam dengan keindahan berbeda setiap ada
jumpa dan pergi biasa kita percayakan pada senyum dan pelukan
bukan lambai perpisahan
sebab bagi kita ketiadaan hanya ada dibatas almanak
bukan benak
maka setiap kali angin menguapkan rangkai itu
kita tahu begitu saja
ia cuma kan hilang sejenak
untuk kemudian menggumpal di samping matahari
menunggu waktu yang tepat jatuh kembali
membutir banyak
dan menjadi
s’pore, 13-16 dec 08
MERAH PUTIH DI DADAMU
:kira-ziya
kami tanam merahputih sejak benih
harap tumbuh besar dan mengakar kuat di dadamu
harumnya lekat di nafasmu
semangatnya didih dalam darahmu
kami tanam merahputih sejak benih
harap kau jaga dan cintai ia sepenuh waktu
sebagaimana ibu dan ayah menjaga dan mencintainya selalu
harap kau rindu dan kibarkan ia sepanjang hidupmu
sebagaimana ibu dan ayah merindu dan mengibarkannya juga selalu
kami tanam merahputih sejak benih, anakku
dalam-dalam di dadamu
di tempat mana tak sesiapapun bisa merenggutnya begitu saja tanpa perjuangan
di tempat paling jernih abadi
tempat sesungguhnya letak kemerdekaan sejati
17 agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar